|
salah satu pemandangan di ponpes Daarulhabib |
“Padahal
dulunya daerah ini adalah daerah terpencil yang jarang dijamah orang,”
tutur Habib Naufal bin Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, pemimpin Pesantren
Darul Habib. Pria ramah dengan suara lembut ini memulai membangun
pesantren pada tahun 1998.
Alhabib Ahmad Naufal Bin Abdullah Alkaff |
Dia menceritakan, ketika
mengadakan pengajian di daerah Bogor ada seorang jama’ah yang ingin
mewakafkan tanahnya untuk bisa dimanfaatkan di jalan Allah. “Beliau itu
Haji Ujang. Tanah di sini ini beliau wakafkan. Ketika saya melihat,
langsung jatuh hati. Sekarang kita sudah menambah sampai dua hektare,
dan insya Allah di seberang jalan ada pula tiga hektare untuk rencana
pondok putri. Doakan ya?” ujar Habib Naufal, santun.
Tak Perlu Ijazah
Alhabib Ahmad Naufal Bin Abdullah Alkaff |
Ia,
yang lahir di Palembang pada 27 Maret 1964, mendapat pendidikan pertama
dari keluarganya dalam dasar-dasar ilmu agama. Ayahnya, Habib
Abdullah, adalah seorang pendakwah yang gigih di Kota Empek-empek itu.
Habib
Naufal, yang namanya juga sering ditulis “Habib Nopel”, dimasukkan
oleh orangtuanya ke Pesantren Ar-Riyadh ketika memasuki usia sekolah
dasar. “Di Pesantren Ar-Riyadh saya mendapat didikan dari dai besar dan
pendakwah tangguh, Ustadz Ahmad bin Abdullah Al-Habsyi. Beliau alumnus
Pesantren Darul Hadits, Malang,” ujarnya.
Salah satu
kelebihan Pesantren Ar-Riyadh menurutnya adalah kemampuan berbahasa
Arab yang amat ditekankan kepada santrinya. Hal itu juga dijadikannya
prioritas di Pesantren Darul Habib yang diasuhnya sekarang. “Semua
komunikasi di Pesantren Darul Habib harus berbahasa Arab, kalau ada
yang melanggar akan dihukum,” ujarnya tegas.
Alhabib Muhammad Bin Alwiy Almaliky |
Dengan
penguasaan bahasa Arab yang fasih dia tidak canggung sampai di Makkah,
walau menurutnya perlu juga adaptasi karena masalah dialek.
Yang
amat berkesan bagi dia adalah ketika pertama kali berjumpa dengan
Habib Muhammad Alwi Al-Maliki, yang juga sering dipanggil “Buya”.
“Waktu itu santri yang paling muda saya, dan Habib Muhammad Alwi
Al-Maliki sempat marah kepada yang mengirim, kenapa yang dikirim anak
kecil. Tapi setelah itu dia sangat sayang kepada saya. Saya ditempatkan
di kamar istirahatnya, saya jadi khadamnya, jadi waktu itu saya tidak
punya kamar,” ujar Habib Naufal mengenang.
Menurut Habib Naufal, sistem belajar di sana adalah sistem belajar salafiyah, seperti yang juga diterapkannya kepada santri Darul Habib saat ini. “Para pengajar yang membantu Habib Muhammad datang dari berbagai negara. Ada yang dari Mesir, Yaman, Palestina, dan lainnya. Hambatan yang saya alami waktu itu adalah soal cuaca, terutama saat bulan Ramadhan, wah panasnya luar biasa, sampai 50 derjat,” ujar ayah sepuluh anak ini.
Tingkatan
belajar di sana hampir sama dengan di Indonesia. Ada ibtidaiyah,
tsanawiyah, dan aliyah. Evaluasi dan ujian juga ada, tapi tidak resmi
dan tidak tercatat. “Buya juga mengeluarkan ijazah tapi hanya berlaku
untuk kalangan internal.”
Menurut Habib Muhammad, ijazah
atau syahadah tidak perlu, karena sudah cukup syahadah dari Allah SWT.
Teman-teman angkatan pertama saja yang mendapat syahadah, setelah itu
tidak ada lagi.
“Alhamdulillah yang telah selesai belajar
dari sana berhasil berdakwah, mereka menyebar ke seantero penjuru. Ada
yang membuka pesantren, ada yang mendirikan majelis ta’lim, ada yang
jadi pengajar,” kata Habib Naufal.
Tarbiyatul Akhlaq
Alhabib Ahmad Naufal Bin Abdullah Alkaff di salah satu stasiun tv |
Menurutnya,
akhlaq tidak cukup dinasihatkan, tapi harus dengan teladan. Dan Habib
Naufal melihat sendiri teladan itu selama sembilan tahun pada diri Buya
Muhammad. “Beliau bekerja keras mencontohkannya, beliau sendiri yang
bangun tiap malam membangunkan santri untuk shalat malam. Apa pun yang
beliau lakukan tidak terlepas dari teladan yang juga beliau contoh dari
Rasulullah SAW. Di Pesantren Darul Habib ini, hal itu juga kita
terapkan. Santri dengan alasan apa pun tidak boleh keluar kawasan
pesantren kecuali yang darurat. Mereka hanya pulang pada saat bulan
Ramadhan, dan 10 hari setelahnya setelah itu mereka kembali ke pondok.
Kita tidak menerima santri luar atau yang tidak bermukim.
Menurutnya,
keberhasilan santri itu ditopang oleh tiga faktor. Yaitu, santri harus
rajin, gurunya juga harus rajin, orangtua pun harus rajin. Orangtua
juga harus mengontrol anaknya ketika mereka libur di rumah. Semuanya
harus bersinergi, akan gagal kalau salah satu pincang.
“Yang diharapkan dari wali murid adalah kontrol dan filter. Perlu memang melihat dunia luar, tapi harus selektif.
Di
pondok ini kita buka tayangan khusus dua kali sepekan berisi cerita
tarikh, kita bisa belajar sejarahnya, juga bahasa Arab-nya.
Alhabib Ahmad Naufal Bin Abdullah Alkaff ketika memberikan muhadloroh kepada santri |
“Setelah dari sini mereka
bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yang mereka suka. Ada
beberapa santri yang telah diterima di Yaman, di Al-Ahgaff, juga di
Makkah, tahun ini ada lima orang yang ke Rubath, Tarim, dan juga ke
Turki.”
Sedangkan dengan perguruan tinggi yang didirikan
oleh Habib Umar Bin Hafidz, yaitu Jami’ah, salah satu saratnya adalah
harus hafal Al-Qur’an dan kitab Riyadhus Shalihin, anak-anak belum siap. Ada yang hafal Al-Qur’an tapi Riyadhus Shalihin belum siap.
Menurutnya,
walau di Pesantren Darul Habib tidak diharuskan hafal Al-Qur’an,
alhamdulillah sudah ada lima puluh santri yang sudah hafal Al-Qur’an
saat ini dari 300 santri. “Dan setiap tahun bertambah. Ada yang hafal
25 juz, 20 juz, tidak kita paksakan,” ujarnya.
Allah Selalu Memberi Rizqi
Alhabib Ahmad Naufal Bin Abdullah Alkaff bersama para santri |
Banyak
hal yang dia dapatkan selama tujuh tahun bermukim di Tanah Suci.
Menurutnya, jiwanya sudah terdidik bagaimana menghadapi masyarakat,
bagaimana menghadapi tantangan.
“Di Tanah Suci Makkah,
perlawanan, konfrontasi, terasa sekali terhadap Ahlusunnah wal Jama’ah.
Buya orang yang terdepan gigih melawan Wahabi, sampai beliau
diuber-uber. Bahkan kita diikuti terus oleh seseorang.
Suatu saat ketika Buya menghadiri Maulid, karena dikuntit terus, orang itu diajak untuk ikut Maulid. Dia jadi malu sendiri.
Memang
ada perjanjian untuk tidak boleh mengadakan Maulid, tapi masyarakat di
sana suka memperingati Maulid. Wahabi menganggap bahwa mengadakan
Maulid itu syirik.
Buya menentang ketika belum ada ulama yang mau terang-terangan menentang,” cerita Habib Naufal.
Setelah
pulang dari Makkah, Habib Naufal mengajar di almamaternya, Ar-Riyadh,
juga mengajar di Madrasah Darul Muttaqin, Palembang.
Ia
juga membuka Madrasah Haramain, jembatan bagi anak-anak untuk masuk
pesantren. Belajarnya malam hari. Siang hari mereka belajar di SD.
“Alhamdulillah, alumnusnya sudah ada yang pulang dari Hadhramaut,” ujar
Habib Naufal berbinar.
Beberapa lama mengajar di Palembang, ia lalu diajak mengajar ke Bekasi oleh Habib Naquib B.S.A. dan Habib Ahmad Fad’aq.
Sebelum
menjatuhkan pilihannya itu ia melakukan shalat Istikharah, karena di
Palembang ia juga sudah punya tanah dua hektare untuk melanjutkan
pembangunan pesantren, tapi dia merasa belum sreg. Setelah shalat
Istikharah, dia mendapat jawaban, bermimpi pindah ke Madinah, artinya
harus hijrah.
“Saya sowan ke Ustadz Umar bin Ahmad Bin Syech,
seorang ulama dan wali di Palembang, beliau menganjurkan shafar,
melakukan perjalanan. Maka, bismillah, saya pun berangkat.”
Setelah
lima tahun mengajar di Bekasi, kepadanya diwakafkan tanah di Ciambar,
Parung Kuda, Sukabumi. “Untuk membangun satu bangunan saja waktu itu
butuh waktu dua tahun, sebata demi sebata. Lalu tahun 2000 saya pindah
ke sini, dan mulai membuka Pesantren Darul Habib,” ujarnya mengenang.
“Sekarang
saya fokus di pesantren, karena mengurus mereka ini perlu konsentrasi
penuh, perlu kesabaran yang luar biasa, apalagi santri berasal dari
seluruh Indonesia dengan latar budaya yang berbeda-beda. Kalau saya
berdakwah juga di luar, anak-anak nanti bisa kacau. Sekali atau dua kali
sebulan saya pergi ke Jakarta bertemu dengan habaib dan alim ulama,
agar ada penyegaran terus.”
Ketika ditanya soal dana untuk
menghidupi santri yang berjumlah 300 dan juga guru dan karyawan yang
semuanya dalam satu kompleks, Habib Naufal tersenyum dan mengatakan
bahwa kalau dihitung secara akal tidak akan bisa, tapi dia merasa bahwa
Allah selalu memberi rizqi. “Kalau hanya diharapkan dari bayaran
santri, tidak sampai. Bahkan ada juga yang gratis, anak yatim dan
dhuafa’. Tapi kami yakin dengan janji Allah,” ujarnya mantap.
Kehilangan Ghirah
Alhabib Ahmad Naufal Bin Abdullah Alkaff bersama tamu |
Menurut Habib Naufal, di
akhir zaman fitnah dan tantangan itu akan banyak. “Itu sudah lama
diisyaratkan, makanya kita perlu membekali anak-anak dengan ilmu yang
benar, ilmu yang jelas silsilahnya, mata rantai yang benar, sekarang
banyak penyusupan melalui ajaran agama. Juga melalui kitab, makanya
dalam hal kitab, kita juga harus bertanya kepada mereka yang
berkompeten dalam masalah itu,” ujarnya.
Ia mengingatkan,
tantangan dakwah adalah sunatullah. “Justru tantangan itu adalah alamat
keberhasilan dakwah. Tidak ada yang mulus. Ingat sejarah dakwah
Rasulullah, yang begitu dahsyat. Kalau dakwah dulu, mereka berkorban
sendiri, dengan harta benda sendiri. Kalau sekarang, banyak kemudahan,
bahkan berdakwah dapat uang, tapi semoga itu tidak merusak keikhlasan
para pendakwah.”
Ia melanjutkan, “Tantangan dakwah memang
berat, tapi memang harus begitu, karena pahala yang dijanjikan juga
besar. Bukankah Rasulullah SAW telah memberi contoh dan tidak ada
tantangan yang lebih hebat dibanding yang dialami Rasulullah SAW?
Saya
tekankan kepada santri-santri saya agar dalam berdakwah tidak
memikirkan uang, karena banyak dai yang rusak karena uang. Giat dan
terus belajar serta mengajar dengan ikhlas, karena rizqi itu Allah SWT
yang menjamin. Dakwah harus karena Allah, nanti pasti Allah akan
mengasih.”
Habib Naufal mengingatkan, “Kita harus
berhati-hati. Generasi muda harus dibekali ilmu dengan benar, karena
begitu banyak tantangan dan godaan zaman sekarang. Umat Islam sudah
kehilangan ghirahnya. Akibatnya fitnah mudah menerpa umat.”
Di
akhir perbincangan, Habib Naufal minta didoakan agar bisa membeli
tanah yang akan digarap menjadi sawah untuk memenuhi kebutuhan logistik
santri, yang semakin lama semakin banyak. Insya Allah.
بحثت عن قصة أبوي في أول حياته، وحتي طلابه كثير ما يعرفون عن أبوي. وسبحان الله بن كتبت اسم أبوي في قوقل وجدت كتابتكم حبيب..ماشاء الله
ردحذف